BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan
penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di hadapi dalam
pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila
secara simultan disertai penyediaan pakan yang memadai dan pengendalian
penyakit yang efektif. Diantara sekian banyak penyakit hewan di Indonesia,
penyakit parasit masih kurang mendapat perhatian dari para peternak. Penyakit
parasit biasanya tidak mengakibatkan kematian ternak, namun menyebabkan
kerugian yang sangat besar berupa penurunan berat badan dan daya produktivitas
hewan. Diantar penyakit parasit yang sangat merugikan adalah penyakit yang
disebabkan oleh cacing hati Fasciola hepatica,yang dikenal dengan nama Distomatosis,
atau Fasciolosis (Mukhlis, 1985).
Penyakit ini menimbulkan banyak kekhawatiran,
karena distribusi dari kedua inang definitif cacing sangat luas dan mencakup
mamalia herbivora, termasuk manusia dan dalam siklus hidupnya termasuk siput
air tawar sebagai hospes perantara parasit. Baru-baru ini, tercatat banyak
kerugian di seluruh dunia pada produktivitas ternak karena fasciolosis diperkirakan
lebih dari US $ 3,2 miliar per tahun. Selain itu, fasciolosis sekarang
dikenal sebagai penyakit yang dapat menular pada manusia. Organisasi Kesehatan
Dunia World Healt Organization (WHO) memperkirakan bahwa 2,4 juta orang
terinfeksi oleh Fasciola spp, dan 180 orang berada pada resiko tinggi terkena
infeksi (Purwono, 2010).
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan Fasciolliosis?
2.
Bagaimana siklus
hidup cacing Fasciola?
3.
Bagaimana
penularan cacing fasciola?
4.
Bagaimana gejala
dan diagnosis penyakit Fasciolliosis?
5.
Bagaimana
mencegah dan mengobati penyakit Fasciolliosis?
6.
Apa saja faktor
yang mempengaruhi infeksi cacing Fasciola?
1.3 Batasan Masalah
Materi pada penyusunan makalah ini hanya membahas
tentang penyakit Fasciolliosis pada ternak.
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang penyakit
fasciolliosis yang menyerang hati ternak, pencegahan dan pengobatannya serta
sebagai salah satu tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Kesehatan Ternak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Fascioliosis
Fasciolosis
atau infeksi cacing hati merupakan penyakit pada ternak disebabkan oleh cacing
daun (trematoda) genus Fasciola spp ., seperti Fasciola hepatica dan Fasciola
gigantica. Pada umumnya F. hepatica ditemukan di negara empat musim atau subtropis
seperti Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Rusia, Australia
dan New Zealand. Fasciola gigantica umumnya ditemukan di negara tropis dan
subtropis, seperti India, Indonesia, Jepang, Filipina, Malaysia, dan Kamboja.
Fasiolosis oleh F. Gigantica merupakanpenyakit penting pada ternak di daerah
tropis seperti Afrika, subkontinen India dan Asia Tenggara. Di Indonesia,
fasciolosis pada ternak disebabkan oleh F. gigantica dan kejadiannya lebih
sering pada sapi dan kerbau dari pada domba atau kambing dengan sebaran
yang luas terutama di lahan-lahan basah.
Berdasarkan taksonominya cacing ini mempunyai klsifikasi sebagai berikut:
Phylum
|
: Platyhelminthes
|
Sub Phylum
|
: -
|
Kelas
|
: Trematoda
|
Ordo
|
: Digenea
|
Family
|
: Fasciolidae
|
Genus
|
: Fasciola
|
Species
|
: Fasciola hepatica, Fasciola gigantica
|
Sedang secara
anatomi fasciola berbentuk pipih dorsoventral.
Fasciola
gigantica berukuran 25-27 x 3-12 mm, mempunyai pundak sempit,
ujung posterior tumpul, ovarium lebih panjang dengan banyak cabang, sedangkan Fasciola
hepatica berukuran 35 x 10 mm, mempunyai pundak lebar dan ujung posterior
lancip. Telur Fasciola gigantica memiliki operkulum, berwarna emas dan
berukuran 190 x 100 μ, sedangkan telur Fasciola hepatica juga memiliki
operkulum, berwarna kuning emas dan berukuran 150 x 90 μ (Baker, 2007).
Purwanta, dkk. (2009) mengemukakan unsur-unsur yang tampak jelas pada telur Fasciola
sp. yang dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10 ialah sel-sel
kuning telur (yolk) dan sel germinal yang tampak transparan di daerah
operkulum pada salah satu kutubnya.
gambar telur Fasciola sp.
2.2 Siklus Hidup Cacing Fasciola Hepatica
Cacing Fasciola Hepatica dewasa
dapat bertahan hidup di dalam hati ternak ruminansia antara 1-3 tahun. Satu
ekor cacing dapat menghasilkan 3000 telur per hari. Telur cacing akan keluar
dari tubuh ternak ruminansia bersama feses, dan pada lingkungan yang lembab,
menempel pada rumput, telur tersebut dapat bertahan antara 2-3 bulan.
Telur akan
menetas dan mengeluarkan mirasidium, penetasan umumnya terjadi pada siang hari.
Mirasidium tersebut memiliki cilia (rambut getar) dan sangat aktif berenang di
dalam air untuk mencari induk semang antara yang sesuai, yaitu siput Lymnaea sp
. Pada suhu 30°C, mirasidium lni hanya bertahan hidup selama 5-7 jam.Segera
setelah mirasidium tersebut menemukan siput Lymnaea sp., maka cilianya akan
terlepas dan mirasidium tersebut akan menembus masuk ke dalam tubuh siput.
Dalam waktu 24 jam di dalam tubuh siput, mirasidium tersebut akan berubah
menjadi sporosis.
Delapan hari
kemudian sporosis tersebut akan berkembang menjadi redia, dari 1 sporosis akan
tunbuh menjadi 1-6 redia. Redia tersebut akan menghasilkan serkaria dan keluar
dari tubuh siput. Serkaria tersebut memiliki ekor sehingga ketika berada di
luar tubuh siput akan berenang, kemudian akan menempel pada benda apa saja di
dalam air yang dilaluinya termasuk pada rumput, jerami atau tumbuhan air
lainnya. Beberapa saat setelah menempel, ekornya akan terlepas dan membentuk
kista yang disebut metaserkaria.
Metaserkaria
ini merupakan bentuk infektif cacing Fasciola spp., sehingga bila ada hewan
ternak pemakan rumput, jerami atau tumbuhan air lainnya yang terkontaminasi
metaserkaria, maka akan tertular dan menderita penyakit fasciolosis .
Pada suhu
rendah, sekitar 14°C, metaserkaria ini dapat bertahan hidup sampai 3-4 bulan,
sedangkan bila terkena sinar matahari langsung akan cepat mati dan tidak
infektif lagi. Infeksi terjadi jika metaserkaria tertelan dan masuk ke
duodenum. Cacing muda ini dapat menembus dinding usus dan menyeberang ke dalam
ruangan peritoneal, menempel dan menghisap darah dan selanjutnya masuk ke hati.
Di dalam saluran empedu menjadi cacing dewasa selama 2-3 bulan.
2.3 Penularan
Sumber
infeksi yang utama berasal dari kontamianan air dan daging atau produk lain
asal hewan yang terinfeksi stadium infektif dari cacing fasciola (Akoso,1996).
Infeksi terjadi didaerah yang basah atau lembab, rawa
atau daerah payau, dimana banyak terdapat siput., cacing akan keluar dan
berenang dan berkeliling akhirnya menempel dan tinggal pada tumbuh-tumbuhan
yang akan termakan oleh hewan yang kemudian menjadi induk semang. Penularan ini
juga berhubungan erat dengan siklus hidup cacing ini.
Induk semang dari fasciola adalah siput, umumnya genus Lymnea.
Di Indonesia telah diketahui adalah Lymnea rubiginosa. Telur fasciola
keluar bersama tinja induk semang dari telur yang menetas keluar mirasidium
yang terus masuk ke dalam siput. Dalam tubuh siput mirasidium berubah menjadi
sporokista. Sporokista menghasilkan redia, dan redia menghasilkan serkaria.
Serkaria keluar dari siput yang merupakan fase infektif. Bila serkaria tidak
termakan oleh induk semang maka akan menghasilkan kisata (metaserkaria), tenggelam
ke dalam air atau menempel pada rumput (Levin, 1994).
Infeksi terjadi bila induk semang memakan rumput atau meminum air yang
tercemar. Dalam usus serkaria keluar dari metaserkaria dan terus menembus
dinding usus masuk keruang peritoneum, selanjutnya menembus selaput hati dan
meninggalkan jalur-jalur hemorhagik pada parenkim hati dalam perjalanannya
menuju saluran empedu untuk menjadi dewasa. Masa prepaten 2-3 bulan (Soedarto,
2003). Penularan pada manusia pada prinsipnya sama dengan
penularan pada hewan.
2.4 Gejala Klinis
Gejala klinis fasciolosis tidak
patognomonis dan gejala umum yang terlihat adalah adanya gangguan pencernaan
berupa konstipasi/ sembelit kemudian disertai dengan adanya daire (mencret),
kurus, lemah, bulu berdiri, depresi, kesulitan bernafas, anemia, selaput lendir
pucat kekuningan, kekurusan, terjadi busung (oedema) di bawah
rahang dan bawah perut. produktivitas turun ( wol, daging dan susu ) dan
pengurangan kenaikan berat badan tiap hari
Pada kejadian Akut (mendadak) , setelah hewan menelan sejumlah besar metaserkaria (biasanya> 2.000) dalam waktu 2-6 minggu.
Pada kejadian Akut (mendadak) , setelah hewan menelan sejumlah besar metaserkaria (biasanya> 2.000) dalam waktu 2-6 minggu.
Pada domba, fasciolosis akut terjadi
secara musiman dengan gejala buncit, anemia dan kematian mendadak terjadi 2-6
minggu setelah infeksi. Kejadian akut (tiba-tiba) akut diperparah oleh infeksi
Clostridium novyi, sehingga menghasilkan “penyakit hitam” (clostridial
hepatitis nekrotik/ penyakit kerusakanan hati yang disebabkan oleh bakteri
clostridia). Pada penyakit subakut, sejumlah besar (500-1,500) metaserkaria
tertelan selama jangka waktu yang lebih lama; kelangsungan hidup lebih panjang
(7-10 minggu), bahkan dalam kasus dengan kerusakan hati yang signifikan, namun
kematian terjadi karena perdarahan dan anemia. Pada Fasciolosis kronis gejala
klinis yaitu anemia, lemah, bengkak di rahang bawah, dan turunnya produksi
produksi susu dan pengurangan kenaikan berat badan.
Keruskan hati tergantung jumlah
metaserkaria tertelan. Selama tahap pertama cacing dewasa, menghancurkan
jaringan hati dan menyebabkan perdarahan. Tahap kedua terjadi ketika Cacing
memasuki saluran empedu, di mana mereka memakan darah dan merusak mukosa dengan
duri kutikula mereka. Dalam fasciolosis akut (tiba-tiba) , kerusakan yang
disebabkan sangat parah; hati membesar dan gembur dengan deposito fibrinous
(pengapuran ) pada kapsul. Permukaan hati memiliki penampilan yang tidak rata.
Dalam kasus-kasus kronis, sirosis (keruskan hati) berkembang. Saluran empedu
rusak membesar. Pada sapi migrasi cacing dapat ditemukan di paru-paru.
2.5 Diagnosis
Penentuan
diagnosa fascioliasis diketahui melalui gejala klinis, pengetahuan epidemiologi
penyakit, dan dibuktikan dengan ditemukannya telur Fasciola, yang dapat
dilakukan dengan metode sedimentasi. Pada hewan yang berkelompok, diagnosa juga
diperkuat dengan kerusakan hati salah satu hewan yang mati dengan melalui
proses nekropsi. Diagnosa yang tepat pada hewan yang sudah terserang penyakit
cacing, akan memberikan jalan untuk pengobatan yang tepat pula untuk ketepatan
diagnosa.
Telur fasciola
mirip dengan paramphistomum. Untuk membedakannya,
selain mengingat ukuran besarnya telur, telur fasciola lebih kecil dari
pada paramphistomum, dinding telur fasciola lebih tipis sehingga mudah
menyerap zat warna empedu, yodium, atau metilen biru.
Selain itu didalam paramphistomum biasanya lebih jelas sel–sel embrionalnya
daripada dalam telur fasciola.
Pada sapi dan kerbau yang menderita penyakit
kronik memiliki gejala klinis yang sama seperti penyakit lain misalnya
defesiensi nutrisional (Cu atau Co), paratisisme oleh cacing lain, anaplasma,
piroplasma, maupun penyakit paratuberkulosis. Temuan telur fasciola dan
perubahan patologi hati, termasuk temuan cacing fasciola merupakan kunci untuk
penentuan diagnosa fasioliasis.
2.6 Pencegahan dan Pengobatan
Menurut Martindah, dkk. (2005), prinsip pengendalian
fasciolosis pada ternak ruminansia adalah memutus daur hidup cacing. Secara
umum, strategi pengendalian fasciolosis didasarkan pada musim (penghujan/basah
dan kemarau/kering). Pada musim penghujan, populasi siput mencapai puncaknya
dan tingkat pencemaran metaserkaria sangat tinggi. Untuk itu, diperlukan
tindakan-tindakan pencegahan terhadap infeksi dan atau menekan serendah mungkin
terjadinya pencemaran lingkungan, antara lain dengan cara:
1. Limbah kandang hanya digunakan sebagai pupuk pada tanaman
padi apabila sudah dikomposkan terlebih dahulu sehingga telur Fasciola sp. sudah
mati.
2. Pengambilan
jerami dari sawah sebagai pakan ternak dilakukan dengan pemotongan sedikit di
atas tinggi galengan atau 1-1.5 jengkal dari tanah.
3. Jerami
dijemur selama 2-3 hari berturut-turut dibawah sinar matahari dan dibolak-balik
selama penjemuran sebelum diberikan untuk pakan.
4. Penyisiran
jerami agar daun padi yang kering terlepas untuk mengurangi pencemaran
metaserkaria.
5. Tidak
melakukan penggembalaan ternak di daerah berair atau yang tercemar oleh
metaserkaria cacing hati, misalnya di sawah sekitar kandang ternak atau dekat
pemukiman.
6. Mengandangkan
sapi dan itik secara bersebelahan sehingga kotorannya tercampur saat kandang
dibersihkan (pengendalian secara biologis).
Cara lain untuk
pencegahan cacing fasciola adalah Memberantas
induk semang perantara / siput
(memotong siklus hidup cacing) dengan penggunaan Mollusida (secara
kimiawi). Memberantas siput secara biologis dengan pemeliharaan itik, rotasi
lapangan rumput, perbaikan sistim pengairan supaya memungkinkan diadakan
pengeringan, ternak sakit jangan dilepas di padang penggembalaan atau jangan
melepaskan ternak sehat di padang penggembalaan yang tercemar.
Mollusida yang dapat dipergunakan antara lain
:
·
Natrium pentachloropenate, dengan
dosis : 9 Kg di dalam 3.600liter air untuk tiap hektar
·
Cooper pentachloropenate, dengan
dosis 9 Kg di dalam 3.600 liter air untuk tiap hektar.
·
Bayer 73 (2 g – hydroxy – 5, 2 dichloro
– 4 diniter – benzanilide), dengan dosis 2 gram di dalam
2.000 liter air untuk tiap hektar. Mollusida tersebut diatas hendaknya
disemprotkan sewaktu lapangan berair. Selanjutnya selama 3 - 5 hari lapangan
tidak boleh dipakai untuk penggembalaan.
Keberhasilan pengobatan
fasciolosis bergantung pada efektivitas obat terhadap stadium perkembangan
cacing. Obat cacing yang digunakan harus bersifat toksik minimal agar jaringan
hati tidak mengalami kerusakan. Obat yang baik adalah obat yang mampu membunuh Fasciola
sp. yang sedang migrasi dan cacing dewasa, serta tidak toksik pada jaringan
(Subronto, 2007).
Pengobatan fasciolosis pada sapi,
kerbau dan domba menggunakan Nitroxinil dengan dosis 10 mg/kg sangat efektif
dengan daya bunuh 100% pada infeksi setelah 6 minggu. Namun pengobatan ini
perlu diulang 8-12 minggu setelah pengobatan pertama. Pemberian obat cacing
secara berkala minimal 2 kali dalam 1 tahun bertujuan mengeliminasi migrasi
cacing dewasa. Pengobatan pertama dilakukan pada akhir musim hujan sehingga
selama musim kemarau, ternak dalam kondisi yang baik dan juga menjaga
lingkungan terutama kolam air. Pengobatan kedua dilakukan pada akhir musim
kemarau dengan tujuan untuk mengeliminasi cacing muda yang bermigrasi ke dalam
parenkim hati. Pada pengobatan kedua ini perlu dipilih obat cacing yang dapat
membunuh cacing muda (Ditjennak, 2012).
Secara umum pengobatan dilakukan selama 3 kali pemberian yaitu pada awal,
pertengahan, dan akhir
musim penghujan. Obat-obatan yang
diberikan antara lain:
·
Dovenix ( bahan aktif: Nitroxynil ),
dosis: 10 mg/kg berat
badan (1 ml untuk 25 Kg berat badan) diberikan secara Subcutan.
·
Bilevon (bahan aktif: Meniclopholan), dosis 3 mg/kg berat
badan diberikan peroral.
·
Monil ( bahan aktif: Albendazole ),
diberikan secara per-oral dengan dosis:
-
Sapi dengan
berat badan < 150 kg : 1,5
bolus.
-
Sapi dengan berat
badan 150 – 300 kg : 3 bolus.
-
Sapi dengan
berat badan 300 – 400 kg : 4 bolus.
-
Sapi dengan berat
badan > 400 kg : 5,5
bolus.
·
Carbontetrachlorida, dosis : 50 mg/kg berat badan
diberikan secara sub kutan, atau
1- 5 ml/ ekor diberikan secara peroral.
2.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Infeksi Cacing Hati ( Fasciola sp. )
Terdapat
beberapa faktor yang umumnya mempengaruhi infeksi cacing hati (Fasciola sp.),
yakni:
1. Umur
Menurut
Hambal, dkk. (2013), pengaruh umur erat kaitannya dengan kurun waktu infestasi
terutama di lapangan. Semakin tua umur sapi maka semakin tinggi pula resiko
infeksinya terhadap Fasciola sp. Pada sapi muda, prevalensi fasciolosis
lebih rendah, hal ini disebabkan oleh sapi muda relatif lebih sering
dikandangkan dalam rangka penggemukan. Selain itu, intensitas makan rumput sapi
muda masih rendah dibandingkan dengan sapi dewasa, hal ini karena sapi muda
masih minum air susu induknya sehingga kemungkinan untuk terinfeksi larva
metaserkaria lebih rendah. Sayuti (2007) melaporkan bahwa sapi bali berumur
lebih dari 12 bulan lebih rentan terhadap infeksi Fasciola sp. dibandingkan
dengan sapi bali berumur kurang dari 6 bulan dan antara 6-12 bulan.
2. Sistem Pemeliharaan
Sadarman,
dkk. (2007) menyebutkan bahwa sapi yang dipelihara secara ekstensif lebih
beresiko terhadap infeksi Fasciola sp. dibandingkan dengan sapiyang
dipelihara secara intensif. Ternak sapi yang dipelihara secara ekstensif
mempunyai resiko terinfeksi Fasciola sp. yang lebih tinggi karena
sapi-sapi tersebut mencari pakannya sendiri sehingga pakan yang diperoleh tidak
terjamin baik secara kuantitas maupun kualitasnya serta sesuai dengan
kebutuhannya. Kekurangan pakan akan menyebabkan ternak mengalami malnutrisi. Nutrisi
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kerentanan seekor sapi terhadap
infeksi cacing. Sapi yang mengalami malnutrisi akan lebih peka (Purwanta, dkk.,
2007).
Menurut Abidin (2002), bahwa
konsumsi hijauan yang masih berembun dan yang tercemar siput, merupakan salah
satu penyebab terjadinya infeksi larva cacing saluran pencernaan. Subronto
(2007) menyebutkan bahwa kebanyakan jenis parasit saluran pencernaan masuk ke
dalam tubuh hospes definitif melalui mulut dari pakan yang tercemar larva.
Karena suatu sebab, misalnya defisiensi posfor, hewan jadi pica sehingga
makan feses (koprofagi) atau benda lain yang mengandung larva.
3. Musim
Hasil penelitian Ari, dkk. (2011)
tidak mengemukakan adanya perbedaan yang signifikan antara infeksi cacing Fasciola
sp. pada musim basah dan musim kering, namun persentase kasus positif
cenderung lebih tinggi pada musim basah. Suyuti (2007) juga mengemukakan bahwa
musim berpengaruh terhadap derajat prevalensi fasciolosis di Kabupaten
Karangasem, Bali. Kejadian fasciolosis banyak terjadi pada awal musim hujan
karena pertumbuhan telur menjadi mirasidium cukup tinggi dan perkembangan di dalam tubuh siput mencapai tahap yang
lengkap pada akhir musim hujan. Selain itu, pelepasan serkaria terjadi pada
awal musim kering seiring dengan terjadinya penurunan curah hujan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Fasciolosis atau infeksi cacing hati
merupakan penyakit pada ternak disebabkan oleh cacing daun (trematoda) genus Fasciola
sp., seperti Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Fasciola
gigantica
merupakan parasit yang cukup potensial menyebabkan fascioliasis. Cacing ini banyak menyerang hewan
ruminansia yang biasanya memakan rumput yang tercemar metacercaria,
tetapi dapat juga menyerang manusia. Kejadian fasciolosis pada ternak
ruminansia berkaitan dengan siklus hidup agen penyebab penyakit tersebut.
Prinsip pengendalian fasciolosis
pada ternak ruminansia adalah memutus daur hidup cacing. Secara umum, strategi
pengendalian fasciolosis didasarkan pada musim (penghujan/basah dan
kemarau/kering). Pada musim penghujan, populasi siput mencapai puncaknya dan
tingkat pencemaran metaserkaria sangat tinggi.
3.2 Saran
Mohon maaf apabila penyusunan
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun sangat diharapkan dalam penyusunan makalah-makalah selanjutnya.
Post yg tentang IB" jg..
BalasHapus